√ Menejemen Peternakan Siklus Produksi Ternak - Arka Ozi official Tutorial Vloger Youtuber Pemula

Menejemen Peternakan Siklus Produksi Ternak

SIKLUS REPRODUKSI TERNAK

Penyerentakan Berahí

Dengan penyerentakan berahi dimaksudkan pengendalian siklus berahi sedemikian rupa sehingga periode estrus pada banyak hewan betina terjadi serentak pada hari yang sama atau dalam waktu 2 atau 3 hari. Sinkronisasi estrus mempunyai beberapa keuntungan praktis bagi peternak terutama dalam peternakan sapi potong yang dipelihara secara ekstensif di lapangan dan perkawinannya dilaksanakan melalui inseminasi buatan memakai bibit-bibit unggul yang diinginkan. Di samping itu penggunaan teknik penyerentakan berahi pada peternakan sapi perah, babi dan domba juga dapat memberi arti ekonomis yang tidak kecil. Konsentrasi periode berahi dalam 2 atau 3 hari akan menghemat tenaga kerja; memungkinkan inseminasi pada banyak hewan betina dengan semen seekor pejantan unggul pada satu waktu tertentu; anak-anak yang lahir tidak perlu dipisahkan menurut kelompok-kelompok umur selama pertumbuhan dan penggemukan karena semuanya mempunyai umur yang hampir sama ; waktu partus dan pemakaian dapat lebih dikonsentrasikan pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan keinginan peternak yang disesuaikan pula dengan permintaan di pasaran dan menurut pertimbangan-pertimbangan ekonomis. Dalam program pemindahan embrio (embryo transfer), tehnik sinkronisasi estrus dapat dipakai untuk menyerentakan stadium siklus berahi antara hewan pemberi (donor) dan hewan penerima (recipient).

Pemindahan embrio dapat dilaksanakan dengan berhasil ke dalam uterus penerima jika stadium siklus berahinya bersamaan dengan keadaan uterus hewan donor. Supaya suatu program pengendalian siklus berahi dapat berhasil maka suatu angka konsepsi yang tinggi harus dicapai pada ovulasi yang diserentakan.

Dasar fisiologik dari penyerentakan berahi adalah hambatan pelepasan LH dari edenohypophysa yang menghambat pematangan foliikel de Graaf, atau penyingkiran corpus luteum secara mekanik, manual atau secara fisiologik dengan pemberian preparat-preparat luteolitik. Karena progesteron menghambat pelepasan LH, pertumbuhan folikel, estrus dan ovulasi, maka progesteron merupakan preparat pertama yang dipakai untuk sinkronisasi estrus. Metoda pengontrolan ovulasi dengan penyingkiran corpus luteum secara manual yang menyebabkan estrus dan ovulasi dalam waktu 3 - 5 hari, dengan rentang 2 - 7 hari, penyuntikan 100 unit Oxytocin dari hari kedua sampai keenam siklus berahi, untuk memperpendek siklus menjadi 8 - 12 hari, pemakaian estrogen untuk meng-involusikan corpus luteum, dirasakan terlampau pelik, tidak praktis dan berbahaya bagi pemakaian rutin.

Pemakaian progesteron dalam sinkronisasi estrus pertama kali dilaporkan oleh Ulberg, Christian dan Casida (1951) yang menyatakan bahwa apabila dimulai kira-kira 15 hari sesudah akhir estrus, penyuntikan 50 mg progesteron dalam minyak setiap hari atau 500 mg dalam bentuk "Repositol" setiap 10 hari akan menghambat estrus dan ovulasi pada sapi. Estrus terjadi dalam waktu 4 - 6 hari, rata-rata 5,2 hari, sesudah penghentian penyuntikan. Menurut Trimberger dan Hansel (1955) penyuntikan progesteron 50 - 100 mg setiap hari dari hari ke-15 sampai hari ke-19 siklus berahi akan menyebabkan estrus normal pada 14 dari 25 sapi yang disuntik dalam waktu rata-rata 4,6 hari sesudah penghentian penyuntikan dan hanya 50 persen yang mempunyai corpora lutes normal. Suntikan-suntikan progesteron tidak selalu memberi respons yang seragam karena perbedaan-perbedaan individual dalam kadar penyerapan hormon tersebut, dan kadar penghambatan dan pemulihan kembali dari hambatan sesudah persediaan hormon di dalam tubuh habis.

Kini telah dihasilkan berbagai senyawa yang sama daya kerjanya dengan progesteron. Beberapa senyawa tersebut cukup efektif bila diberikan per oral dan memberikan hasil yang lebih seragam pada hewan-¬hewan betina dibandingkan dengan penyuntikan progesteron. MAP, 6-methyl-l7-acetoxyprogesterone, (Upjohn Co. "Repromix") pertama kali dievaluasi pada tahun 1960 oleh Hansel dan Malven. Sapi-sapi betina yang diberi makan lebih dari 500 mg MAP setiap hari untuk 20 hari, menunjukkan berahi pada waktu yang bersamaan tetapi angka konsepsi hanya mencapai 25 persen. Pada tahun 1963 diperkenalkan CAP, 6-chloro-6-dihydro-l7-acetvxyprogesterone, suatu senyawa pro¬gestational yang lebih kuat. Dosis efektif minimal untuk MAP adalah180 - 200 mg per hari per hewan yang diberi makan setiap hari pada waktu yang sama, sedangkan untuk CAP cukup 10 mg per ekor per hari. Terakhir telah diperkenalkan pula MGA, melengestrol acetate, yang jauh lebih kuat lagi dengan dosis hanya 1 m per ekor per hari (Darwash et al. 1965; Rousel & Beatty, 1969). DHPA, dihydroxy progesterone acetophenide, suatu preparat progesteron lain, dapat pula dipakai untuk penyerentakan berahi pada sapi (Wilt bank et al., 1967). Hanya MAP yang sudah tersedia secara komersial di Amerika Serikat pada saat ini (Roberts, 1971). Lama optimum pemberian preparat-preparat ini adalah 18 hari walaupun beberapa peneliti menganjurkan periode yang lebih pendek 10 - 14 hari.

Angka konsepsi pada percobaan-percobaan dengan sapi-sapi perah dara dan sapi potong memakai preparat-preparat ini mencapai 20 - 70% pada estrus pertama yang terjadi serentak dalam waktu 2 - 8 hari sesudah akhir pemberian preparat progestagen. Sesudah pemberian MAP sapi-sapi memperlihatkan berahi dalam waktu 3 - 4 hari; dengan CAP dan MGA intervalnya lebih lama 2 - 3 hari. Pada hampir semua perlakuan angka konsepsi adalah 10 - 15 persen di bawah nilai yang diperoleh pada sapi-sapi kontrol dan diinseminasi pada kondisi yang sama. Angka-angka konsepsi pada periode estrus berikutnya, yang terjadi sesudah interval 21 hari adalah normal. Jadi tidak ada perpanjangan pengaruh progestagen.

Periode siklus berahi, permulaan, pertengahan atau akhir, sewaktu senyawa progestational mulai diberikan tidak mempengaruhi angka konsepsi pada estrus pertama yang diserentakkan (Astrom & Bane, 1968).

Angka-angka konsepsi yang rendah pada estrus yang disinkronisasikan mungkin disebabkan oleh kegagalan pembuahan karena gangguan pengangkutan sperma di dalam saluran kelamin betina. Spermatozoa dalam jumlah banyak yang ditempatkan ke dalam saluran kelamin pada estrus ternyata mempertinggi angka konsepsi dibandingkan dengan jumlah minimum spermatozoa. Tidak ada bukti bahwa hubungan waktu estrus-ovulasi ada sangkut pautnya dengan rendahnya angka konsepsi.

Menurut Jainudeen dan Hafez (1966), fertilitas yang rendah disebabkan oleh gangguan transport ova yang telah dibuahi atau kematian embrional.

Persenyawaan-persenyawaan progestatif telah dimasukkan ke dalam vagina dengan bantuan spons atau batang-batang yang mengan-dung persenyawaan-persenyawaan tersebut. Persenyawaan-persenyawaan ini diserap oleh aliran darah dari epithel vagina dan menghambat ovulasi. Pada waktunya, spons tersebut dapat dikeluarkan dari hewan-hewan betina dan estrus akan terjadi dalam beberapa hari kemudian. Pemakaian progestogen intravaginal pada sapi tidak sebaik pada domba karena biasanya terdorong keluar sebelum habis waktu percobaan.

Obat-obat non-steroidal yang diberikan secara oral telah pula dicoba untuk menyerentakan berahi pada ternak. Di antaranya yang terkenal adalah ICI-33828, 1-alpha methylally-thin-carbomayl-2 methylthiocar-bomoylyhydrazine atau methallibure, yang dipakai untuk pengendalian siklus reproduksi pada babi. Pada ruminansia, obat-obat non-steroidal tidak mempunyai pengaruh. Clomiphene atau MRL-4, suatu anti-estrogen, telah dicoba pada sapi dan menghambat estrus tetapi tidak terjadi ovulasi sesudah pemberhentian pemberian obat. Clomiphene menghambat ovulasi dan mengganggu pelepasan LH.

Beberapa peneliti telah mencoba pemakaian estrogen untuk mengin-volusikan corpus luteum dalam suatu periode singkat pemberian MAP, 8 sampai 10 hari (Wiltbank & 1978). Ternyata bahwa estrogen tidak mem-perbaiki prosentase ternak yang berahi serentak sesudah pemberian MAP. Graves dan Dziuk (1978) telah melaporkan bahwa penyuntikan 500 IU HCG secara intramuskuler pada sapi 60 jam sesudah penghentian pemberian MAP menyebabkan ovulasi kira-kira 40 jam kemudian, daninseminasi harus dilakukan 25 jam sesudah penyuntikan HCG. Beberapa peneliti lain telah memberikan FSH pada akhir percobaan dengan preparat-preparat progestogen dan memberikan LH beberapa hari kemudian, disusul dengan suatu periode yang lebih seragam kira¬ kira 12 sampai 24 jam sebelum inseminasi untuk lebih memperbaiki derajht sinkronisasi dan menghilangkan kewajiban mendeteksi estrus.Hasil-hasilnya cukup memuaskan tetapi masih diperlukan lebih banyak penelitian sebelum dapat dipergunakan secara praktis. Faktor-faktoi harga dan kejadian multi-ovulasi jugs mempunyai peranan menentukan.
Preparat yang paling mutakhir dipakai dalam sinkronisasi estrus adalah prostaglandin dalam bentuk prostaglandin Fza (PGFza)karena sifat luteolitiknya. PGFza dikenal sebagai suatu vasokonstriktor dan pemberian PGFza menyebabkan hambatan pengaliran darah secara drastis melalui corpora lutes beberapa species. Pengurangan pengaliran darah yang lama dapat menyebabkan regresi corpus luteum.

Pemberian PGF2a pada sapi sesudah, tetapi tidak sebelum, 5 hari sesudah estrus diikuti oleh penurunan kadar progesteron di dalam serum darah, pengurangan ukuran corpus luteum (Louis at al., 1973), dan kembalinya estrus kira-kira 3 hari sesudah pemberian preparat tersebut (Inskeep, 1973, Launderdale, 1972; Louis at al., 1973). Fertilitas tampaknya normal, berdasarkan pengamatan pada jumlah sapi yang terbatas, baik untuk sapi yang diberi PFGza dan diberi embrio yang ditransferkan dari sapi betina pemberi (Rowson et al., 1972) atau untuk sapi yang diinseminasikan pada waktu estrus sesudah pemberian PGFza (Inskeep, 1973).

Biasanya PGF2a sebanyak 4 - 6 mg, rata-rata 5 mg, yang dilarutkan dalam 0,75 ml aqua destillata (Nakahara et- al., 1974) diberikan intrauterin ke dalam corpus antara hari ke-5 dan ke-21 siklus berahi. Pemberian PGF2a secara intrauterin dapat pula dikombinasikan dengan penyuntikan 400 ug estradiol benzoat secara subcutan atau dengan 250 ug faktor pelepas LH (LH releasing factors, LH - RF) secara in¬tramuskuler; estradiol disuntikkan serentak dengan pemberian PGFza, sedangkan LH - RF disuntikkan 60 jam sesudah pemberian PGFza. Hasil-hasil dengan jumlah hewan yang sangat terbatas menunjukkan bahwa pemberian PGFzatersendiri hampir sama dengan kontrol dan masih jauh lebih baik daripada kombinasi dengan penyuntikan estradiol atau LH - RF, walaupun masih ada percobaan lain dengan hasil sebaliknya.

Menurut Nakahara et al (1974) pemberian hanya PGF2a intrauterin menyebabkan estrus pada 23,1%, 53,9%, 9,6% dan 13,4% sapi-sapi percobaan, masing-masing pada hari ke-2, ke-3, ke-4 dan antara hari ke-9 dan ke-16 sesudah pemberian preparat tersebut. Berarti bahwa mayoritas sapi-sapi percobaan memperlihatkan estrus 3 hari sesudah pemberian PGF2a.

Penyuntikan garam PGF2a - TRAM sebanyak 30 mg secara sub cutan atau intramuskuler pada sapi yang mengandung corpus luteum pada ovariumnya, berdasarkan palpasi rektal, memberikan fertilitas yang sama dengan kontrol yaitu antara 52 dan 55 prosen pada inseminasi pertama sewaktu estrus yang terjadi 2, 3 dan 4 hari sesudah penyuntikan (Lauderdalo at, el., 1974).
Penyuntikan 1,25 sampai 10 mg PGFZa secara subcutan pada kuda pada hari ke-6 sesudah ovulasi mengurangi lamanya dioestrus (Douglas & Ginther, 1972). Suatu analog sintetik prostaglandin, ICI-79939, dalam jumlah sedikit-dikitnya 100 ug yang diberikan secara intrauterin kepada kuda pada fase diestrus menyebabkan estrus dalam waktu 2 sampai 4 hari sesudah pemberian preparat tersebut (Allen & Rowson, 1973; Allen & Rossdale, 1973).

PERKAWINAN PERTAMA

Pada waktu anak sapi betina dilahIrkan, alat reproduksi telah Iengkap. Pada ovariumnya telah terdapat ratusan ribu sel telur (ovum). Akan tetapi sel-sel telur itu tinggal sampai betina menjelang dewasa kelamin. Sebelum masa dewasa kelamin tercapai, perkembangan sel telur tidak diteruskan menjadi telur yang masak untuk diovulasikan. Pada ternak sapi perah perkembangan folikel yang berisi sel telur menjadi masak dan siap diovulasikan yang pertama pada umur 10-12 bulan. Pada saat itu sapi perah dara telah mencapai umur dewasa kelamin atau masa puber. Secara alami sapi dara pada umur itu telah dapat menghasilkan keturunan apabila dikawinkan pada waktu yang tepat. Namun karena pada umumnya masa puber terjadi sebelum pertumbuhan jasmaniah mencapai kesempurnaan, maka sapi dara tadi baru boleh dikawinkan setelah mencapai umur 18 bulan. Dengan demikian pada umur sekitar 2,5 tahun sapi akan beranak yang pertama kali. Sedangkan sapi pejantan baru boleh dipakai sebagai pemacek yang pertama kali setelah mencapai umur 18 bulan.

Umur dewasa kelamin  pada sapi perah bervariasi karena dipengaruhi oleh faktor ras, keadaan lingkungan dan terutama pemberian makanan. Pemberian rnakanan yang baik dan dalam jumlah yang cukup akan mempercepat terjadinya kedewasaan kelamin dan kedewasaan tubuh.

Bersambung .....
Indahnya berbagi
Menejemen Peternakan Siklus Produksi Ternak

Get notifications from this blog